Faktadelik.Com – Bekerja mencari nafkah untuk diri sendiri, keluarga, dan berbagi dengan orang lain merupakan suatu keharusan, karena Allah SWT., menciptakan alam ini sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menjalani kehidupan yang terbaik, sesuai dengan profesi masing-masing, sehingga manusia saling membutuhkan, saling menolong, serta saling bekerjasama dan berbagi dengan orang lain. Hal ini disampaikan Letkol Sus Husban Abady, ketika memberikan ceramah tarwih malam ke-23 Ramadhan dengan tema *Keseimbangan Antara Pendapatan Dengan Pengeluaran* di Masjid Al Ikhlas, Jl. Toddopuli 10 Makassar (24/4/2022).
Ketika seseorang bekerja dan memperoleh hasil dari pekerjaannya, pada hakikatnya dia telah menolong dirinya sendiri, keluarganya, dan juga orang lain, misalnya dia membelanjakan hasil usahanya untuk membeli barang konsumsi yang ia butuhkan, berarti ia telang menolong orang lain yang menjual barang tersebut, begitulah distribusi barang dan jasa berputar dan disitu ada unsur tolong menolong dan saling menguntungkan, kata Husban Abady.
Lebih lanjut Husban Abady mengatakan, bahwa dalam Al Qur’an ditemukan banyak ayat yang menyuruh dan memotivasi manusia untuk bekerja dan berpenghasilan karena dengan bekerja dan berpenghasilan, manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Sebagaimana firman Allah SWT., dalam Al Qur’an pada surah Al-Jumu’ah ayat 10 yang artinya : “Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”
Husban Abady mengatakan, pekerjaan dan penghasilan yang diperoleh dari hasil usaha harus dapat dijamin kesuciannya atau kehalalannya, tidak boleh menggunakan cara-cara yang tidak halal, menzalimi orang lain, dan praktek yang tidak wajar, karena itu akan berdampak buruk bagi kehidupan. Jadi bekerja bukan semata-mata memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi bagaimana bekerja dan berpenghasilan memperoleh keberkahan dari Allah SWT., artinya dalam bekerja dan berpenghasilan harus ada keseimbangan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
Pada umumnya orang yang tidak peduli pada kehidupan akhirat sangat rentang terhadap perilaku mencurangi atau menzalimi orang lain dalam setiap usaha yang dilakukannya. Dia akan selalu berupaya menempuh segala cara demi memenuhi kebutuhan dan ambisinya dalam kehidupan duniawi, tanpa mengindahkan hak-hak orang lain, dia akan terus mengeruk berbagai keuntungan apapun caranya, hal ini terjadi karena faktor keinginan untuk memenuhi seluruh kebutuhannya yang tidak pernah mengenal batas, tegas Husban Abady.
“Oleh karena itu membatasi kebutuhan pada hal-hal yang sangat mendesak, wajar dan tidak berlebih-lebihan sesuai dengan nilai-nilai Islam, akan berimplikasi pada cara seseorang dalam bekerja dan berbelanja. Ukurannya bukan pada seberapa jumlah perolehan, tetapi pada nilai keberkahan yang terkandung di dalamnya. Jadi harta melimpah bukan ukuran kekayaan, tetapi bagaimana harta itu memberi kebermaknaan dalam kejiwaan seseorang”. Husban Abady mengatakan bahwa hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah Muhammad SAW., yang artinya : “Ukuran kekayaan bukan terletak pada banyaknya harta benda, tetapi pada kekayaan jiwa”
“Karena ukuran kekayaan itu bukan pada jumlah harta yang banyak, maka yang penting untuk dilakukan adalah bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan dan pendapatan, karena persoalan yang paling krusial bagi banyak orang adalah bagaimana menyeimbangkan antara pendapatan dengan pengeluaran, karena kadang kebutuhan lebih besar daripada penghasilan, menuruti kebutuhan rasanya tidak akan pernah selesai, karena itu besar dan kecilnya penghasilan seharusnya tidak menjadi persoalan utama, tetapi yang penting adalah keberkahan dari penghasilan itu.” ungkap penggemar olahraga golf ini.
Di akhir ceramahnya Husban Abady menyampaikan bahwa keberkahan itu, jika apa yang dimiliki dapat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan dan hal itu memberi kebahagiaan di dunia ini dan insyaa Allah kebahagiaan di akhirat kelak. Sebagai contoh, seseorang yang berpenghasilan kecil, sangat menikmati makan Ikan Bakar di warung pinggir jalan yang harganya murah, daripada tergiur untuk makan di restoran mewah yang harganya mahal seperti yang dilakukan oleh orang yang berpenghasilan besar. Orang seperti ini mampu menyeimbangkan pengeluarannya dengan pendapatannya, sehingga tidak merasa terus kekurangan yang pada gilirannya dapat merangsang untuk melakukan penyelewengan, pungkasnya. ( red )